Sunday, July 29, 2007



Film Workers – Sebuah Kesombongan?

Diatas adalah sebuah gambar pertama yang gue rekam saat tiba di sebuah lokasi di bilangan Bintaro, yang akan kita pakai shooting keesokan harinya. “DILARANG MELAKUKAN KEGIATAN SHOOTING APAPUN DI LINGKUNGAN/LOKASI INI”, demikian pesan itu berbunyi. Reaksi pertama gue adalah: menggerutu. Monyet ni orang. Ini namanya pembunuhan karakter. Udah gak perlu entertainment? Bakar aja tuh TV di rumah lu..!

Mungkin itu juga yg digerutu oleh Riri saat pembuatan film “3 Hari…”, Di lokasi ini, menurut Masbin, orang art yang sama yang dipake oleh Riri, dia harus mengakalinya dengan “shooting colongan” saat mengambil exterior shot penjaja sayur keliling. Tapi gue gak melihat kemungkinan shoot colongan di production gue… Gak mungkin! Bener2 monyet ni orang.


Padahal, baru beberapa hari sebelum gue tercenung lama di sign board itu, diselenggarakan sesi final “International Young Creative Entrepreneur Award in Film” oleh British Council. Sebuah perayaan kreatif yang katanya: memilih jawara nasional dari 10 finalis anak muda yg akan menentukan arah perfilman di Indonesia.. Busyet berat banget…! Di perayaan itu juga tergembar-gembor bahwa pada tahun 2005 industri yang berhubungan dengan kreatif menyumbang sampe 900 triliun rupiah atau setara dengan 33% PDB Indonesia. Industri kreatif lebih besar kue nya daripada minyak2an….! Anda jangan heran kalo punya tetangga ‘orang film’ yang jarang keliatan di rumah.. Kadang orang normal pada kerja siang bolong, dia ke teras ngerokok, baru bangun tidur… Kadang orang masih shallat subuh, dia udah dijemput L-300 putih dengan emblem “FILM”… Kadang masuk-keluar bank dengan celana pendek… Eh, tau2 beli mobil yang se-merek dengan tetangga anda yang Kepala Cabang Bank Anu… Hehehe. Cuma itu kadang jadi kesombongan tersendiri… “Gembel2 begini gue banyak duit”…

Mungkin perkataan bini gue benar… “Iya lah, lo ngerasa keganggu gak kalo punya tetangga yang rumahnya tiap hari dipake shooting? Dengan puluhan mobil berbagai ukuran bikin penuh jalanan, belom crew2 yang gak kerja di set pada tidur2an di jalanan”… Iya juga sih… Kadang kalo gue iseng keluar dari set ngerokok di jalanan, cuma buat ngliangin penat atau lagi “cuape dee…” ngadepin producer atau client gue… Si Entong – pengawal gen set, dengan santainya godain pembantu sebelah “Iya saya ni sutadara senior… Biarin anak2 pada kerja di dalam”…Bhuahaha… Terlebih lagi shooting yang melibatkan anak kecil. Seorang talent anak kecil bisa diantar oleh: Papa, Mama, Oma, Kakak, Suster, dan Supir. Ada 6 penggembira tambahan yang kalau tidak meramaikan set dan meja makan prasmanan, akan menyemarakkan jalanan dan lingkungan di sekitar lokasi tersebut. Bayangkan kalau ada 10 anak kecil sebagai talent… Dari Tim Penggembira Talent saja bisa 60 orang… Hebat..!

Ini memang industri keras. Kita datang pagi buta musti on time. Kita kelar musti jam 11 malem kalo gak mau producer marah2 gara2 over time. Kesiapan semua peralatan tiap department (Dari art box buat Art Team sampe sendok kecil pengaduk kopi buat Unit Team) harus ada kalo gak mau ada caci maki. Tapi kadang karena keras nya tuntutan yang kita hadapi, kita jadi kurang peka, kurang empathy dengan lingkungan sekeliling kita (baca: lokasi shooting). Kita selalu berpikir, “Akh… itu urusan Location Manager”.. memang iya, semua perijinan dan pengamanan lokasi shooting adalah tanggung jawab Location Manager. Tapi gue selalu beranggapan dia hanyalah “Juru Bicara”… Layaknya Jubir perwakilan RI di perundingan perdamaian RI-GAM di Helsinki. Dia memang dikasih peluru buat bertempur (uang)… Tapi Location Manager itu hanyalah bagian dari tim kerja. Sudah selayaknya ni… Para pekerja film mulai sedikit memperhatikan kesopanan saat berada di lokasi shooting.. Yang kita bayar hanyalah ijin lokasi untuk dipakai shooting, bukan membeli lokasi tersebut…

Supaya gue, elo, teman2 gak suntuk lagi ngeliat billboard “Dilarang Shooting” yang mungkin aja akan menyemarakkan ibu kota menggantikan poster2 pilkada….

“Ayo Benahi Perilaku Shooting”