
Film Workers – Sebuah Kesombongan?
Diatas adalah sebuah gambar pertama yang gue rekam saat tiba di sebuah lokasi di bilangan Bintaro, yang akan kita pakai shooting keesokan harinya. “DILARANG MELAKUKAN KEGIATAN SHOOTING APAPUN DI LINGKUNGAN/LOKASI INI”, demikian pesan itu berbunyi. Reaksi pertama gue adalah: menggerutu. Monyet ni orang. Ini namanya pembunuhan karakter. Udah gak perlu entertainment? Bakar aja tuh TV di rumah lu..!
Mungkin itu juga yg digerutu oleh Riri saat pembuatan film “3 Hari…”, Di lokasi ini, menurut Masbin, orang art yang sama yang dipake oleh Riri, dia harus mengakalinya dengan “shooting colongan” saat mengambil exterior shot penjaja sayur keliling. Tapi gue gak melihat kemungkinan shoot colongan di production gue… Gak mungkin! Bener2 monyet ni orang.

Mungkin perkataan bini gue benar… “Iya lah, lo ngerasa keganggu gak kalo punya tetangga yang rumahnya tiap hari dipake shooting? Dengan puluhan mobil berbagai ukuran bikin penuh jalanan, belom crew2 yang gak kerja di set pada tidur2an di jalanan”… Iya juga sih… Kadang kalo gue iseng keluar dari set ngerokok di jalanan, cuma buat ngliangin penat atau lagi “cuape dee…” ngadepin producer atau client gue… Si Entong – pengawal gen set, dengan santainya godain pembantu sebelah “Iya saya ni sutadara senior… Biarin anak2 pada kerja di dalam”…Bhuahaha… Terlebih lagi shooting yang melibatkan anak kecil. Seorang talent anak kecil bisa diantar oleh: Papa, Mama, Oma, Kakak, Suster, dan Supir. Ada 6 penggembira tambahan yang kalau tidak meramaikan set dan meja makan prasmanan, akan menyemarakkan jalanan dan lingkungan di sekitar lokasi tersebut. Bayangkan kalau ada 10 anak kecil sebagai talent… Dari Tim Penggembira Talent saja bisa 60 orang… Hebat..!
Ini memang industri keras. Kita datang pagi buta musti on time. Kita kelar musti jam 11 malem kalo gak mau producer marah2 gara2 over time. Kesiapan semua peralatan tiap department (Dari art box buat Art Team sampe sendok kecil pengaduk kopi buat Unit Team) harus ada kalo gak mau ada caci maki. Tapi kadang karena keras nya tuntutan yang kita hadapi, kita jadi kurang peka, kurang empathy dengan lingkungan sekeliling kita (baca: lokasi shooting). Kita selalu berpikir, “Akh… itu urusan Location Manager”.. memang iya, semua perijinan dan pengamanan lokasi shooting adalah tanggung jawab Location Manager. Tapi gue selalu beranggapan dia hanyalah “Juru Bicara”… Layaknya Jubir perwakilan RI di perundingan perdamaian RI-GAM di Helsinki. Dia memang dikasih peluru buat bertempur (uang)… Tapi Location Manager itu hanyalah bagian dari tim kerja. Sudah selayaknya ni… Para pekerja film mulai sedikit memperhatikan kesopanan saat berada di lokasi shooting.. Yang kita bayar hanyalah ijin lokasi untuk dipakai shooting, bukan membeli lokasi tersebut…
Supaya gue, elo, teman2 gak suntuk lagi ngeliat billboard “Dilarang Shooting” yang mungkin aja akan menyemarakkan ibu kota menggantikan poster2 pilkada….
“Ayo Benahi Perilaku Shooting”

0 Comments:
Post a Comment
<< Home