Friday, December 22, 2006

MILITARISM

Ever wonder why those bigoted ones put "official look" military accessories in their cars? Whats in your mind when you see that..? Must be something like "dude, this guy has a military connection. Dont f*#k with him". Thats what you thinking… and thats exactly what they want you to think.

Dont know how long this stigma has been exclusively set in people’s mind. Probably from the New Order era of The Smiling Tour.. eh... The Smiling General, Mr. Suharto, or probably longer. But this kind of accessories, e.g. military school badge, black hat with "GEGANA" written on it, or a green barrette sits comfortably on the dashboard…. effectively scare people. That’s right. They are made and placed there to scare people.

Maybe the image of "I am a close family to an ARMY general.." or "my son is in the POLICE squad" is the essence of it all. Or maybe we live in the environment that is not so safe, that forces us to believe in this stigma… or even forces us to do such things… i.e. believing in militarism.


We have to look inside ourselves to understand it, to comprehend why we have such fear. Since we were little kids, we always had an impression… Tentara or ABRI (back then) weren’t someone you should say hello to if you meet them on the streets. They carried guns with serious faces. They actually look like everyday people if they dont wear uniform. They can even… repeat… CAN look like someone like Pak Santo, our favorite Mie Ayam Gerobak if… they weren’t physically trained… hehehe..

I have nothing against military. We need them to guard the nation. But they presence should be clear. If we remember learning the famous “Dwi Tunggal”… the social something bit.. Maybe that was the cause of all the big fuss on the image people get when they put military accessories in their cars. To me it reads that dim-witted Dwi Tunggal still exists. It creates an image that military is not a friend. It’s a guardian dog that is ready to bark at or bite you. But correct me if Im wrong… Dogs are best man friends.

That’s the wrong consciousness people get. Everything is cool with military taste on it. I don’t mind the fashion. Sometime its sexy to see a woman wearing a white tang top shirt and an Iraqi look American soldier pants. But if you put those emblems on, with a hope to give a scary or “close to barking dogs” impressions… Man…! You are so old skool!..


Not to mention our flag raising ceremonies or the way supervisors in parking companies brief their subordinates –civilians- wearing blue or orange uniforms… in military manners. You see… People are so proud to have military existence in their life, including its culture... like this national TV Station that dress up their crew in all black.. :-)


This is a life that we live only once. Every sight we see is a part of our life’s documentation. Everything. Please help me to see a better world. We need to live with military, but f*#k militarism.

Labels:

Wednesday, December 06, 2006

December

Gak berasa ini udah Desember. Sebelom dua taun lalu gue selalu mengingat desember sebagai bulan yang sejuk, bulan yang indah, bulan yang penuh dengan Christmas spirit. Bulan untuk berbagi, menoleh ke belakang apa aja yang udah gue kerjain setaun ini…

Tapi 2 taun lalu… kejadian tsunami di Aceh merubah semuanya. Saat itu seluruh umat manusia di muka bumi ini, terhenyak… terenyuh menyaksikan tayangan hampir seluruh stasiun televisi. Gue salah satu dari sekian banyak orang yang ikut tersentuh untuk menuju kesana. Tersentuh, tertantang, tergoda, nekat... semua jadi satu sebenernya. Berbagai gambar yang terekam dalam otak dari apa yang gue saksikan di tv sebelum berangkat, menemani detik demi detik nafas sadar gue dalam perjalanan menuju Banda Aceh.

Dengan ditemani Budi, seorang anak muda yang sedang menjalani masa internship di kantor, kamera merekam setiap gambar yang dapat gue jejalkan ke dalam lensa kamera. Sungguh mengerikan. Lukisan kengerian akan pergumulan hidup anak manusia yang sedang dalam taraf terendah… the lowest point of life…

Pertemuan dengan Rosandi, seorang pemuda aceh yang sudah 10 tahun tak kembali mewakilkan kengerian itu. Pandangannya yang terawang, langkahnya yang lunglai mengiringi resah hatinya menunggu kabar orang tua dan dua adik – wanitanya – yang tak kunjung datang… yang membuat ia berada dalam 1 pesawat dengan kami …. Kami ikuti dengan tombol merah pada posisi “record”.

Kisah nyata yang dengan hati nurani kami rekam itu hadir beberapa minggu kemudian di layar kaca berlogo “MTV” dengan judul “55 Jam di Aceh Bareng MTV”. Yah.. kami berhasil membuat sebuah karya yang membagi apa yang kami rasakan, lihat dan dengungkan dalam hati mengikuti alunan Interpol-antics sewaktu disana. Yah.. memang hanya 55 jam waktu yang kami habiskan di sana sebelum kembali menatap storyboard komersial yang menunggu kami di shooting set di Jakarta.

Entah kenapa.. Benar… December menjadi sebuah ritual bagi diri gue, untuk kembali menoleh ke balakang. Tahun lalu 2005… Gue seakan kembali dibawa ke titik nadir tersebut. Selama sebulan gue terus merekam seluruh kegiatan yang menurut istilah orang2 besar… Rekonstruksi. Sebuah penamaan yang amat fana. Biar bagaimanapun semangat hidup mereka adalah hal yang terpenting untuk di – “rekonstruksi”. Lahirlah sebuah karya ke-2 berlatar belakang tsunami… yang dilepas untuk kepentingan masyarakat donor dunia, “Remember. Rebuild”.

Alas…! Benar..! Rupanya kehidupan gue di bulan desember identik dengan sebuah ritual tsunami. Sementara si Budi telah menjadi si Cungkring, salah seorang Hot Shot di kantor… Sementara ber rol-rol tsunami sushi telah gue santap… Rupanya Sang Dewa masih terus memanggil gue untuk berdiam diri. Mengingat ratapan tsunami 2004… Mensyukuri betapa hidup ini adalah sebuah panggung drama tanpa skenario yang selalu saja mengagetkan.

Seorang rekan iseng, Fajar Nugross mengirimkan sebuah copy film 55 Jam di Aceh ke Festival Film Dokumenter (FFD) yang berlangsung di Jogja 12-16 Desember 2006. Dan film itu menjadi salah satu nominasi untuk kelompok professional… Sungguh, sebuah insight yang menjadi topik dalam mimpi saya… Apa yang akan terjadi December tahun depan?

Itulah hidup… Sebuah drama panggung tanpa skenario. Hidup di bulan Desember menjadi lebih mendebarkan lagi...