PETI DUAAngin dingin pagi buta gunung mulai menusuk tajam. Kantuk yang tadi menyerang sewaktu menyetir sebuah mobil polisi - gara2 sang polisi mengantuk dan memilih tidur di samping gue - dalam perjalanan dari Makassar ke Tana Toraja, udah hilang.
Gue duduk diatas mobil bak DLLAJR setempat dan gak bisa ngomong apa2, menikmati pemandangan indah membentang di hadapan gue.. Jurang, terkadang sawah ber-trap di sebelah kanan jalan, gunung batu atau perumahan di sebelah kiri.. Awan berarak-arakan memisahkan diri dari kabut pagi di lembah jurang, tepat dibawah gue.. 'Anjing, gue diatas awan tapi ini mobil bukan di pesawat'.
Sementara di belakang mobil yg gue tumpangin dari pintu gerbang masuk ke kabupaten ini, berarak-arakan hampir 30 mobil berjejer rapih. Tentunya, raungan sirene & lagu 'kematian' adat ikut mengundang orang2 setempat keluar rumah, melihat... 'Siapakah yang pulang ke kampung?'. Pulang dalam artian meninggal. Kampung dalam artian Toraja.
'Lari terus...!!!', gue menengok ke belakang, tawa nakal Santos, sepupu gue, tepat di belakang gue. Dibawah tepatnya. Karena kita lagi berlari naik ke atas bukit. Di kejauhan, tampak Nenek gue dengan gagang sapu terangkat di geggamannya beserta omelan2nya yang cuma 25% gue bisa ngerti. Maklum, gue Toraja assembling. Originally from Toraja, made in Jakarta. Gue yakin itu. Karena bokap nyokap gue kenalan di akhir 60an di Jakarta.
Kita berlari sambil tertawa.. Sebenernya kita tau, kalo udah mulai gelap.. Kita musti pulang ke rumah Nenek, dan kita akan jadi "dead meats". Cucu2nya yang seumuran ini, 8 tahun.. sudah menyebabkan hatinya gusar. Tertangkap basah mencoba menyalakan puntung rokok.
Itu memori yang bermain di kepala gue. Dari dalam viewfinder kamera, gue menangkap sosoknya medium shot. Santos, tepatnya Ajun Komisaris Yerry Santos Mangiri mengendarai sebuah innova dan sirene biru diatas memimpin rangkaian konvoi keluarga besar ini. Mobil kedua setelah Santos, sebuah ambulance besar membawa Nenek yang meninggal 3 hari lalu. Kami pulang bawa Nenek ke bukit itu, ke rumahnya..
Ratapan kematian yang bercampur dengan pesta keluarga. Puluhan babi dan kerbau menghampiri ajalnya, masuk ke perut keluarga gue yang gak henti2nya kedatangan tamu dan kebaktian. Gue menangkap momen2 indah itu dalam bentuk digital.. [Dokumentasi ini] pasti penting buat masa depan, selalu itu yang jadi acuan gue. Dan memang penting... Akan selalu penting.. Ajang ini ajang melepas rindu kangen dicampur persiapan upacara dibarengi oleh festival tangis ala Toraja... Memeluk dan menghentak-hentakkan diri ke peti Nenek. Nenek tertidur kaku di dalamnya. Wajahnya cantik, lengkap dengan polesan make up dan perhiasan emasnya.. Ada sebungkus permen Alpine'something', permen kesukaanya, disamping Alkitab dan kaca matanya.
Semua bergembira. Termasuk Om Boron. Ada yang berbeda pada Om gue yang paling 'nyambung' ini. Ia mantan pekerja tambang yang sangat "physical". Dia ayah Arthur. Sepupu gue yang kuliah di Bandung. Kos-kosannya dulu sering jadi tempat kabur gue dari Jakarta waktu SMA dulu. Om Boron ini pernah mengajak gue ke rumahnya di Soroako, lengkap dengan tur keliling danau, tambang malam hari dan bowling setempat waktu gue 13 tahun. Pulangnya gue dapat hadiah celana khaki ala petambang. Sekitar 2 taun lalu gue baru ketemu dia lagi, jauh lebih pendiam dan penyendiri. Belakangan gue tau dibalik tubuh pendekar-nya (pendek dan kekar), si Om mengidap penyakit stroke..
Tapi, si Om punya tampang senang hari itu. Ia bermain-main dengan cucu2nya - anak2 dari Arthur. Sesekali wajahnya tampak di dalam ruangan, lain waktu ia tampak di tangga bukit, sekejap ia terlihat di dapur tersenyum-senyum sendiri membawa air panas dalam gelas.. Ia gembira, berjoget sekenanya saat Om Benyamin dan Om Max, dua om saya yang jago minum tuak, berduet di kamar belakang bergantian memainkan gitar. Ia pun turut maju ke depan menyanyikan "Jerusalem" bersama vokal grup keluarga besar saya yang berdarah seni ini. Sebelum Nenek meninggal, ia minta dinyanyikan "Jerusalem" oleh anak cucunya yang menemani. Sebelum lagu itu selesai dinyanyikan, Nenek menghembuskan nafas terakhir di Makassar.
Malam usai kebaktian, gue ngobrol gak jelas dengan Arthur. Sudah 15 tahun lebih kita gak ketemu. Sebelum pulang ke rumah nyokap di kota lain berjarak 1/2 jam dari rumah Nenek, kita tukeran no HP dan berjanji untuk ke pub sebelom berpisah nanti..
Tiba2 gue terbangun.. Ada 7 miss call di HP gue yang lupa di charge. 'Ngapain Arthur nelpon jam 2 lewat gini?' 'Masa mau ngajak ke pub...???' Dengan santai gue matiin HP gue tanpa menelfon Arthur balik. Badan gue cape rasanya setelah lebih dari 24 jam dipaksa untuk memanggul kamera. 'Coba gue ajak kameraman' umpat gue dalam hati sambil membenamkan kepala di sarung..
Sekarang gue berada di dalam mobil yang mengantar gue, dan beberapa sepupu gue ke rumah Nenek. Di pangkuan gue ada foto ukuran folio Om Boron yang tadi kita zoom, crop, photoshop-in di studio foto terdekat.
'Jangan kaget ya, Om Boron meninggal tadi malam jam 2. Papa langsung ke RS tadi malam', perkataan nyokap saat ngebangunin gue pagi tadi...
'Yang gue inget untuk telpon, cuma elo', kata Arthur...
'Tadi saya ketemu recengan kopi mix di sakunya si Om', kata Adi sepupu gue yang duduk di belakang...
Om ternyata memilih jalan ikut Nenek, meninggalkan dunia semu ini di tengah kegembiraannya. Semua sibuk. Gak ada yang sempat memperhatikan bagaimana seorang anak kecil yang tersekat dalam diri pria baya 65 tahun ini memerdekakan diri. Ia berlari kesana-kemari, naik-turun tangga bukit, jajan sprite dan cola, menyeduh kopi mix sendiri, mungkin makan berpiring2 daging bekolesterol tinggi tanpa mengingat penyakit stroke-nya.. Mungkin ia juga tak perduli.. atau mungkin tak lagi mengerti..
Kini kita punya 2 peti... Siap dikubur. Dan semuanya gue rekam di kamera... Gak tau kapan gue punya hati untuk mulai ngedit.. Musti Agus, bukan gue...
-saktiparantean-
November 2007
previously posted on http://fictionoir.multiply.com/journal